PERTENTANGAN KELAS SOSIAL
DALAM CERPEN
CLARA
ATAWA WANITA YANG DIPERKOSA
Paper
Untuk memenuhi tugas Writing 4
Disusun oleh:
Arinda Saraswati Wulandari
082110080
Sastra Inggris / Fakultas Bahasa
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2013
Abstrak
Cerpen
karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Clara
Wanita yang Diperkosa”. Yang mengisahkan kebrutalan masyarakat Indonesia di
kala itu sangat membenci kaum etnis Tionghoa. Dengan cara memperkosa,
menganiaya, membunuh dan membakar rumah serta harta benda etnis tersebut.
Sesuai judul, pokok cerpen ini berkisah oleh seorang wanita chinese bernama
Clara yang diperkosa beramai-ramai dan dijarah harta bendanya lalu ditinggal di
jalanan tanpa sehelai kainpun. Lalu wanita itu melaporkan tindakan tersebut
kepada petugas bersetragam yang nampaknya tidak percaya pada kata-katanya.
Pendekatan
yang dilakukan untuk menggambarkan keadaan dalam cerpen adalah teory Marxisme.
Teory marxisme yang dipopulerkan oleh Karl Mark dan temannya Friedrick Engles memaparkan
mengenai hasil analisisnya dalam buku Manifesto Komunis yang berkesimpulan “Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat
ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.” (Communist Manifesto
: 1848)
Dapat
disimpulkan bahwa penggunaan Teory Marxisme cocok untuk menerangkan gejala
gelaja yang terjadi pada Mei 1998. Yang mana didalam cerpen terlihat bahwa
adanya hubungan sosial antar manusia terkait dengan hubungan sosial antara kaum
kapital dengan kaum proletar. Yang bertujuan untuk mengetahui sejarah keadaan
masa lampau khususnya Mei 1998 melalui pertentangan kelas sosial.
Key
word : Marxisme, Karl Mark, Clara wanita yang diperkosa, Mei 1998
Mei
1998 adalah puncak dari segala aksi masyarakat Indonesia akibat persoalan ketimpangan kelas sosial,
jika pada awalnya, keturunan Cina kerap menguasi alat
produksi atau pemilik modal tetapi setelah terjadi krisis
moneter di tahun 1997 yang mana nilai rupiah kian lama kian menurun
mengakibatkan banyak perusahaan dan bisnis mereka bergulung tikar, serta
melonjaknya harga bahan pangan membuat kemarahan warga pribumi membabi buta. Cerpen yang disajikan oleh Seno Gumira Ajidarma
(1999) yang berjudul “Clara Wanita yang
Diperkosa” adalah kajian yang benar-benar mewakili peristiwa Mei 1998 kala
itu. Cerita ini menarik karena adanya tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan dan menyayat hati pada perasaan siapa saja
yang menyaksikannya. Banyak entis Tionghoa khususnya wanitanya banyak yang
diperkosa, dianiaya lalu dibunuh dan diambil harta bendanya. Tokoh Clara dalam
cerpen telah menggambarkan betapa menderitanya Clara-Clara yang lainnya pada
masa itu. Dalam cerpen ini terdapat pemaknaan identitas etnik serta nuansa
pribumi dan non-pribumi.
Marxisme teory yang dikemukakan oleh Karl Mark dan sahabatnya
Friedrick Engles dalam buku “Manifesto Komunis”(1848): “Sejarah dari berbagai masyarakat
hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.”(wikipedia).
Sastra sebagai cerminan masyarakatnya, membuat
hubungan antara sosiologi sastra dan marxisme tidak dapat dipisahkan. Seperti
yang diketahui bahwa Marxisme mencakup materialisme dialektis
dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial. (wikipedia marxisme) serta Damono
mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia,
dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Marx merupakan
perintis Marxisme, maksudnya adalah ajaran-ajaran yang ada dalam marxisme
adalah pembakuan terhadap ajrannya Marx yang dilakukann oleh temannya
Friedik Engels (1820-18938) dan oleh tokoh teori marxis Karl Kautsky
(1854-1938). Lahirnya marxisme merupakan bentuk awal dari penolakan marx
terhadap system kapitalis, dimana saat itu marx melihat telah terjadi
kesenjangan social yang dipraktekkan oleh masyarakat Eropa yang mana kaum-kaum
yang berasal dari bangsawan (borjuis) telah menguasai kawum bawahan (buruh).
Saat itu kaum buruh (proletar) dipaksakan untuk bekerja hanya demi segelintir
kaum bangsawan. Dengan kata lain, lahirnya Marxisme adalah beranjak dari
konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua ketidakadilan,
eksploitasi manusia khususnya kelas bawah / kelas buruh
(proletar).(zakiracut:11:2011)
Secara
garis besar Teory Marxisme bisa untuk menerangkan gejala gelaja yang terjadi
pada Mei 1998. Yang mana didalam cerpen terlihat bahwa adanya hubungan sosial
antar manusia yang terkait dengan hubungan sosial antara kaum kapital dengan
kaum proletar atau yang lebih dikenal dengan sistem feodalisme. Kaun kapitalis
disini berarti kaum yang menguasai alat produksi sedangkan kaum proletar adalah kaum yang tenaganya
diperas guna mendapat keuntungan sepihak. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham
kapitalisme diganti dengan paham komunisme Bila kondisi ini terus dibiarkan,
menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar
dari marxisme. (wikipedia)
Kedepannya, Mark memandang hubungan sosial antar
manusia terkait dengan bagaimana cara mereka bereproduksi dalam kehidupan
bermaterial. Mulai dari hubungan sosial antara budak (Pribumi) dan majikan
(Tionghoa) yang dikenal dengan feodalisme, lalu pada tahap selanjutnya yang
mana kaum kapitalis mulai untuk menguasai alat produksi sedangkan kaum pribumi
(proletar) yang tenaganya diperas guna memperoleh keuntungan.
“Isinya
ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat
bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama
pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi
setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa.
Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash.”
Mobilnya saja
BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras
dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah
bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah.
Dua kutipan diatas menunjukkan royalitas kaum Tionghoa
yang merupakan perwujudan dari kesenjangan sosial. Yang mana mereka memiliki
benda benda mewah yang umumnya tidak dimiliki oleh orang asli pribumi.
Kesenjangan itu, diperparah dengan kondisi perekonomian pada saat itu bisa
dikatakan runyam dan PHK besar-besaran terjadi dimana-mana sehingga masyarakat
banyak yang tak mampu membeli kebutuhan pokoknya. Ketidakberdayaan dalam memenuhi
kebutuhan pokok itulah yang membuat pikiran manusia kalang-kabut, mereka pun
akhirnya membenci Cina (kaum kapitalis) dengan cara yang memalukan seperti
memperkosa, menganiaya, membunuh serta menjarah barang milik korban. Cerpen
“Clara” yang terdapat dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati, dapat dikenali
sebagai peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta itu dengan mengenali korban
perkosaan massal di tengah kerusuhan itu yang beretniskan Cina ,sebuah etnis
dalam masyarakat Indonesia yang selalu dimanfaatkan secara stereotif (penilaian
terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang
tersebut dapat dikategorikan : wikipedia) sebagai korban, sebagaimana dinyatakan Seno via e-mail
23/2/2009.
Sosok
Seno Gumira Ajidarma bercerita lewat perspektifnya dua tokoh dalam sudut
pandangnya. Pertama adalah aku (seorang petugas berseragam yang mencatat
dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi) dan kedua adalah saya (Clara, sosok wanita yang diperkosa
dan menjadi topik dalam cerpen)
Sudut pandang aku terlihat dari kutipan berikut.
“Barangkali aku
seorang anjing. Barangkali aku seorang babi, tapi aku memakai seragam. Kau
tidak akan pernah tau siapa diriku sebenarnya.
Maka cerita yang
akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah
bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan
itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap
kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang
sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya selalu disesuaikan dengan
kebutuhan.”
Dalam kutipan diatas pengarang sengaja mengkritik bahkan menyindir kaum
berseragam yang kelakuannya bahkan melebihi hewan. Mereka bahkan dengan gampangnya
memalsukan data dengan memutar balikkan fakta. Hal yang diungkapkan oleh Seno
tersebut bukan hanya terjadi dalam cerpen melainkan terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
Sudut pandang saya terlihat dari kutipan tersebut.
“Saya memang
sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan
Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak.
Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan
menimbulkan kerusuhan.”
Menurut Seno, dahulu sebelum Krisis Moneter
perekonomian, alat produksi serta kepemilikan modal telah dikuasai oleh kaum
Chinese. Hingga pada tahun 1997 semua terpontang-panting banyak perusahaan dan
bisnis mereka yang gulung tikar, nilai rupiah yang semakin melemah
mengakibatkan banyak PHK dimana-mana. Namun disini sosok Clara mencoba untuk
tidak mem-PHK karyawannya, sehingga ia sering terbang keluar negri supaya
perusahaannya tidak pailit. Tapi apa boleh dikata, ras china yang kental oleh
mata sipit dengan kulit putih mulus membuat usaha yang dilakukan Clara sia-sia
dihadapan 25 laki-laki berkaki daki. Kemiskinan yang membutakan naruni manusia.
Identitas “asli pribumi” menjadi hal penting kala itu. Hingga warga keturunan
yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya tetap menjadi santapan dari kebringasan
mereka.
Clara tidak mengalami kejadian itu sendiri. Ia bersama
kedua adiknya Monica dan Shinta yang tidak hanya diperkosa tetapi juga
dilemparkan ke kobaran api. Ibunya juga mengalami hal yang sama namun lebih
memutuskan untuk bunuh diri. Tinggal ayahnya seorang, entah apa yang akan
dilakukan sang ayah, entah bunuh diri atau masih hidup belum ada kejelasan dari
penulis.
“Di hadapanku
duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang
menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun
aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.”
Mengingat kembali peristiwa G30S/PKI 1965 tentang
partai komunis Indonesia dengan lambang merahnya yang berarti bahaya karena
masuk dalam komunisme, sedangkan Cina adalah salah satu negara komunis terbesar
didunia. Hal tersebut membuat pemikiran orang asli pribumi kalang-kabut
sehingga orang Indonesia Keturunan yang berdiam ditanah air seolah olah
terintimidasikan oleh gen kecinaan mereka yang seakan-akan mereka tidak layak
lagi menduduki negri ini.
“Cina!” ”Cina!”
Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat
berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah
sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi
apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
”Saya orang
Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap
mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar
seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu
sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!”
Akibat krisis moneter 1997 yang berkepanjangan, dengan
dampak penurunan mata uang rupiah yang kian lama kian menurun, hutang di Luar
negri menggunung, banyaknya PHK besar-besaran yang terjadi disejumalah
perusahaan yang hampir pailit, serta banyaknya penguasaan modal dan alat
produksi oleh Cina. Kemiskinan yang dialami oleh penduduk membuat kekejian
terhadap Cina meradang, selain mereka menggangap Cina sebagai pendukung
pemerintah terhadap G30S/PKI (artikel) juga karena mereka sudah merasa
tercurangi oleh cina. Sesuai yang diungkap Mark and Engles tentang marxisme
yakni pertentangan kelas yang dikutip dari wikipedia, yakni kesenjangan sosial
yang ketara dari kaum kapital yang dalam hal ini yang dimaksud adalah
cina(komunisme) karena mereka menguasai alat produksi dan sebagai pemilik modal
terhadap kaum proletar yakni rakyat asli pribumi yang tugas mereka seperti
kacung bagi kaum etnis Tionghoa.
Aku sudah
melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi!
Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di
situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan
LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
Perlakuan menjijikkan itu ternyata tidak hanya
dilakukan oleh para lelaki kaki berdaki. Petugas berseragampun yang diharapkan
dapat mengayomi orang kaya cina justru ikut membenci dan ikut melakukan hal kotor
yang tidak manusiawi itu. Apa yang diperbuat oleh petugas berseragam itu
menurut Mark dan Engles adalah akibat langsung dari kehidupan material manusia
yang mempengaruhi pemahaman, pemikiran, sertakehidupan spiritual manusia.
Di dalam dompet
ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu,
lantas mendekati saya.
”Kamu pernah
sama dia?”
”Jawab! Pernah
kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
”Periksa! Masih
perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span
saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak.
Kutipan diatas oleh Seno merupakan gambaran remaja
masa kini. Agak menyindir tentang peran seks bebas yang sudah menjadi “lazim”
bagi kaum remaja sekarang ini. Seperti yang dilansir dalam
penelitian disertasi Faruk (2002:x), merupakan karya sastra yang
mengekspresikan dengan setia romantisisme sebagai pandangan dunia. Oleh karena
itu, di dalamnya terkandung kecenderungan antara dunia ideal dengan dunia
nyata.
Berpuluh-puluh
tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!”
Rok saya sudah lolos….
Kalimat yang mencerminkan betapa brutalnya hawa nafsu
manusia. Yang mana menunjukkan adanya perlawanan dari kaum buruh yang seperti
digembor-gemborkan oleh Mark tentang “Bila
kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan
menuntut keadilan.” Hal tersebut merupakan tuntutan dari kaum
pribumi atas dasar rasa kemanusiaan, atas kemarahan terhadap pemerintahan orde
baru sampai kedengkian yang mana mereka menganggap kehidupan kaum Tionghoa yang
kasarnya hanya numpang malahan hidup enak. Sedangkan para asli pribumi yang
benar-benar asli harus banting tulang hanya untuk sesuap nasi.
Selangkangan
saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus
saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami
dilahirkan hanya untuk dibenci?
“Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka
memang benci dengan Cina.”
Kutipan
diatas adalah saksi upaya kaum proletar untuk membela diri atas kaum struggle
dalam hal ini yang dimaksud adalah Cina. Keirian dan kedengkian yang sudah lama
dipendam oleh masyarakat pribumi akibat ketidakberdayaan dalam memenuhi
kebutuhan pokok itulah yang membuat manusia khilaf, sehingga tidak hanya
merusak, membakar, menganiaya, menjarah toko tetapi juga memperkosa dan
meninggalkannya begitu saja.
Setelah
membaca cerpen yang berjudul “Clara
Wanita yang Diperkosa” karya Seno Gumira Ajidarma dapat disimpulkan bahwa
cerpen ini adalah kritikan yang diungkapkan oleh penulis kepada masa itu yakni
tahun 1998. Bahwa penggunaan Teory Marxisme cocok untuk menerangkan gejala
gelaja yang terjadi pada Mei 1998. Yang mana didalam cerpen terlihat bahwa
adanya hubungan sosial antar manusia terkait dengan hubungan sosial antara kaum
kapital dengan kaum proletar atau yang lebih dikenal dengan sistem feodalisme.
Kaun kapitalis disini berarti kaum yang menguasai alat produksi (Etnis
Tionghoa) sedangkan kaum proletar
(prribumi asli) adalah kaum yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan
sepihak.
Daftar Pustaka
2 comments:
cool,
<3
Posting Komentar