Rabu, 13 Maret 2013

Clara Wanita yang Diperkosa (Marxisme Thoery)


PERTENTANGAN KELAS SOSIAL
DALAM CERPEN
CLARA ATAWA WANITA YANG DIPERKOSA
Paper
Untuk memenuhi tugas Writing 4
Dosen Pengampu: Ali Imron, SS

Disusun oleh:
Arinda Saraswati Wulandari
082110080
Sastra Inggris / Fakultas Bahasa

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2013

Abstrak
Cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Clara Wanita yang Diperkosa”. Yang mengisahkan kebrutalan masyarakat Indonesia di kala itu sangat membenci kaum etnis Tionghoa. Dengan cara memperkosa, menganiaya, membunuh dan membakar rumah serta harta benda etnis tersebut. Sesuai judul, pokok cerpen ini berkisah oleh seorang wanita chinese bernama Clara yang diperkosa beramai-ramai dan dijarah harta bendanya lalu ditinggal di jalanan tanpa sehelai kainpun. Lalu wanita itu melaporkan tindakan tersebut kepada petugas bersetragam yang nampaknya tidak percaya pada kata-katanya.
Pendekatan yang dilakukan untuk menggambarkan keadaan dalam cerpen adalah teory Marxisme. Teory marxisme yang dipopulerkan oleh Karl Mark dan temannya Friedrick Engles memaparkan mengenai hasil analisisnya dalam buku Manifesto Komunis yang berkesimpulan “Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.” (Communist Manifesto : 1848)
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan Teory Marxisme cocok untuk menerangkan gejala gelaja yang terjadi pada Mei 1998. Yang mana didalam cerpen terlihat bahwa adanya hubungan sosial antar manusia terkait dengan hubungan sosial antara kaum kapital dengan kaum proletar. Yang bertujuan untuk mengetahui sejarah keadaan masa lampau khususnya Mei 1998 melalui pertentangan kelas sosial.


Key word : Marxisme, Karl Mark, Clara wanita yang diperkosa, Mei 1998


Mei 1998 adalah puncak dari segala aksi masyarakat Indonesia akibat persoalan ketimpangan kelas sosial, jika pada awalnya, keturunan Cina kerap menguasi alat produksi atau pemilik modal tetapi setelah terjadi krisis moneter di tahun 1997  yang mana nilai rupiah kian lama kian menurun mengakibatkan banyak perusahaan dan bisnis mereka bergulung tikar, serta melonjaknya harga bahan pangan membuat kemarahan warga pribumi membabi buta. Cerpen yang disajikan oleh Seno Gumira Ajidarma (1999) yang berjudul “Clara Wanita yang Diperkosa” adalah kajian yang benar-benar mewakili peristiwa Mei 1998 kala itu. Cerita ini menarik karena adanya tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan menyayat hati pada perasaan siapa saja yang menyaksikannya. Banyak entis Tionghoa khususnya wanitanya banyak yang diperkosa, dianiaya lalu dibunuh dan diambil harta bendanya. Tokoh Clara dalam cerpen telah menggambarkan betapa menderitanya Clara-Clara yang lainnya pada masa itu. Dalam cerpen ini terdapat pemaknaan identitas etnik serta nuansa pribumi dan non-pribumi.
Marxisme teory yang dikemukakan oleh Karl Mark dan sahabatnya Friedrick Engles dalam buku “Manifesto Komunis”(1848): “Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.”(wikipedia). Sastra sebagai cerminan masyarakatnya, membuat hubungan antara sosiologi sastra dan marxisme tidak dapat dipisahkan. Seperti yang diketahui bahwa Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial.  (wikipedia marxisme) serta Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Marx merupakan perintis Marxisme, maksudnya adalah ajaran-ajaran yang ada dalam marxisme adalah pembakuan terhadap ajrannya Marx yang dilakukann oleh temannya  Friedik Engels (1820-18938) dan oleh tokoh teori marxis Karl Kautsky (1854-1938). Lahirnya marxisme merupakan bentuk awal dari penolakan marx terhadap system kapitalis, dimana saat itu marx melihat telah terjadi kesenjangan social yang dipraktekkan oleh masyarakat Eropa yang mana kaum-kaum yang berasal dari bangsawan (borjuis) telah menguasai kawum bawahan (buruh). Saat itu kaum buruh (proletar) dipaksakan untuk bekerja hanya demi segelintir kaum bangsawan. Dengan kata lain, lahirnya Marxisme adalah beranjak dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bawah / kelas buruh (proletar).(zakiracut:11:2011)
            Secara garis besar Teory Marxisme bisa untuk menerangkan gejala gelaja yang terjadi pada Mei 1998. Yang mana didalam cerpen terlihat bahwa adanya hubungan sosial antar manusia yang terkait dengan hubungan sosial antara kaum kapital dengan kaum proletar atau yang lebih dikenal dengan sistem feodalisme. Kaun kapitalis disini berarti kaum yang menguasai alat produksi sedangkan  kaum proletar adalah kaum yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan sepihak. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar dari marxisme. (wikipedia)
Kedepannya, Mark memandang hubungan sosial antar manusia terkait dengan bagaimana cara mereka bereproduksi dalam kehidupan bermaterial. Mulai dari hubungan sosial antara budak (Pribumi) dan majikan (Tionghoa) yang dikenal dengan feodalisme, lalu pada tahap selanjutnya yang mana kaum kapitalis mulai untuk menguasai alat produksi sedangkan kaum pribumi (proletar) yang tenaganya diperas guna memperoleh keuntungan.
“Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash.”
Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah.
Dua kutipan diatas menunjukkan royalitas kaum Tionghoa yang merupakan perwujudan dari  kesenjangan sosial. Yang mana mereka memiliki benda benda mewah yang umumnya tidak dimiliki oleh orang asli pribumi. Kesenjangan itu, diperparah dengan kondisi perekonomian pada saat itu bisa dikatakan runyam dan PHK besar-besaran terjadi dimana-mana sehingga masyarakat banyak yang tak mampu membeli kebutuhan pokoknya. Ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan pokok itulah yang membuat pikiran manusia kalang-kabut, mereka pun akhirnya membenci Cina (kaum kapitalis) dengan cara yang memalukan seperti memperkosa, menganiaya, membunuh serta menjarah barang milik korban. Cerpen “Clara” yang terdapat dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati, dapat dikenali sebagai peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta itu dengan mengenali korban perkosaan massal di tengah kerusuhan itu yang beretniskan Cina ,sebuah etnis dalam masyarakat Indonesia yang selalu dimanfaatkan secara stereotif (penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan : wikipedia) sebagai korban, sebagaimana dinyatakan Seno via e-mail 23/2/2009.
Sosok Seno Gumira Ajidarma bercerita lewat perspektifnya dua tokoh dalam sudut pandangnya. Pertama adalah aku (seorang petugas berseragam yang mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi) dan kedua adalah saya (Clara, sosok wanita yang diperkosa dan menjadi topik dalam cerpen)
Sudut pandang aku terlihat dari kutipan berikut.
“Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi, tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tau siapa diriku sebenarnya.
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif — pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.”
Dalam kutipan diatas pengarang  sengaja mengkritik bahkan menyindir kaum berseragam yang kelakuannya bahkan melebihi hewan. Mereka bahkan dengan gampangnya memalsukan data dengan memutar balikkan fakta. Hal yang diungkapkan oleh Seno tersebut bukan hanya terjadi dalam cerpen melainkan terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sudut pandang saya terlihat dari kutipan tersebut.
“Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan.”
Menurut Seno, dahulu sebelum Krisis Moneter perekonomian, alat produksi serta kepemilikan modal telah dikuasai oleh kaum Chinese. Hingga pada tahun 1997 semua terpontang-panting banyak perusahaan dan bisnis mereka yang gulung tikar, nilai rupiah yang semakin melemah mengakibatkan banyak PHK dimana-mana. Namun disini sosok Clara mencoba untuk tidak mem-PHK karyawannya, sehingga ia sering terbang keluar negri supaya perusahaannya tidak pailit. Tapi apa boleh dikata, ras china yang kental oleh mata sipit dengan kulit putih mulus membuat usaha yang dilakukan Clara sia-sia dihadapan 25 laki-laki berkaki daki. Kemiskinan yang membutakan naruni manusia. Identitas “asli pribumi” menjadi hal penting kala itu. Hingga warga keturunan yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya tetap menjadi santapan dari kebringasan mereka.
Clara tidak mengalami kejadian itu sendiri. Ia bersama kedua adiknya Monica dan Shinta yang tidak hanya diperkosa tetapi juga dilemparkan ke kobaran api. Ibunya juga mengalami hal yang sama namun lebih memutuskan untuk bunuh diri. Tinggal ayahnya seorang, entah apa yang akan dilakukan sang ayah, entah bunuh diri atau masih hidup belum ada kejelasan dari penulis.
“Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.”
Mengingat kembali peristiwa G30S/PKI 1965 tentang partai komunis Indonesia dengan lambang merahnya yang berarti bahaya karena masuk dalam komunisme, sedangkan Cina adalah salah satu negara komunis terbesar didunia. Hal tersebut membuat pemikiran orang asli pribumi kalang-kabut sehingga orang Indonesia Keturunan yang berdiam ditanah air seolah olah terintimidasikan oleh gen kecinaan mereka yang seakan-akan mereka tidak layak lagi menduduki negri ini.
“Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!”
Akibat krisis moneter 1997 yang berkepanjangan, dengan dampak penurunan mata uang rupiah yang kian lama kian menurun, hutang di Luar negri menggunung, banyaknya PHK besar-besaran yang terjadi disejumalah perusahaan yang hampir pailit, serta banyaknya penguasaan modal dan alat produksi oleh Cina. Kemiskinan yang dialami oleh penduduk membuat kekejian terhadap Cina meradang, selain mereka menggangap Cina sebagai pendukung pemerintah terhadap G30S/PKI (artikel) juga karena mereka sudah merasa tercurangi oleh cina. Sesuai yang diungkap Mark and Engles tentang marxisme yakni pertentangan kelas yang dikutip dari wikipedia, yakni kesenjangan sosial yang ketara dari kaum kapital yang dalam hal ini yang dimaksud adalah cina(komunisme) karena mereka menguasai alat produksi dan sebagai pemilik modal terhadap kaum proletar yakni rakyat asli pribumi yang tugas mereka seperti kacung bagi kaum etnis Tionghoa.
Aku sudah melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
Perlakuan menjijikkan itu ternyata tidak hanya dilakukan oleh para lelaki kaki berdaki. Petugas berseragampun yang diharapkan dapat mengayomi orang kaya cina justru ikut membenci dan ikut melakukan hal kotor yang tidak manusiawi itu. Apa yang diperbuat oleh petugas berseragam itu menurut Mark dan Engles adalah akibat langsung dari kehidupan material manusia yang mempengaruhi pemahaman, pemikiran, sertakehidupan spiritual manusia.
Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak.
Kutipan diatas oleh Seno merupakan gambaran remaja masa kini. Agak menyindir tentang peran seks bebas yang sudah menjadi “lazim” bagi kaum remaja sekarang ini. Seperti yang dilansir dalam penelitian disertasi Faruk (2002:x), merupakan karya sastra yang mengekspresikan dengan setia romantisisme sebagai pandangan dunia. Oleh karena itu, di dalamnya terkandung kecenderungan antara dunia ideal dengan dunia nyata.
Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
Kalimat yang mencerminkan betapa brutalnya hawa nafsu manusia. Yang mana menunjukkan adanya perlawanan dari kaum buruh yang seperti digembor-gemborkan oleh Mark tentang “Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan.” Hal tersebut merupakan tuntutan dari kaum pribumi atas dasar rasa kemanusiaan, atas kemarahan terhadap pemerintahan orde baru sampai kedengkian yang mana mereka menganggap kehidupan kaum Tionghoa yang kasarnya hanya numpang malahan hidup enak. Sedangkan para asli pribumi yang benar-benar asli harus banting tulang hanya untuk sesuap nasi.
Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?
 “Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Kutipan diatas adalah saksi upaya kaum proletar untuk membela diri atas kaum struggle dalam hal ini yang dimaksud adalah Cina. Keirian dan kedengkian yang sudah lama dipendam oleh masyarakat pribumi akibat ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan pokok itulah yang membuat manusia khilaf, sehingga tidak hanya merusak, membakar, menganiaya, menjarah toko tetapi juga memperkosa dan meninggalkannya begitu saja.

Setelah membaca cerpen yang berjudul “Clara Wanita yang Diperkosa” karya Seno Gumira Ajidarma dapat disimpulkan bahwa cerpen ini adalah kritikan yang diungkapkan oleh penulis kepada masa itu yakni tahun 1998. Bahwa penggunaan Teory Marxisme cocok untuk menerangkan gejala gelaja yang terjadi pada Mei 1998. Yang mana didalam cerpen terlihat bahwa adanya hubungan sosial antar manusia terkait dengan hubungan sosial antara kaum kapital dengan kaum proletar atau yang lebih dikenal dengan sistem feodalisme. Kaun kapitalis disini berarti kaum yang menguasai alat produksi (Etnis Tionghoa) sedangkan  kaum proletar (prribumi asli) adalah kaum yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan sepihak.





Daftar Pustaka

2 comments:

Unknown mengatakan...

cool,

Unknown mengatakan...

<3

Posting Komentar

 

Blog Template by YummyLolly.com